Teori investasi sumber daya manusia pada dasarnya percaya bahwa penghasilan seumur hidup dari mereka yang mempunyai pendidikan lebih tinggi akan lebih besar penghasilannya daripada mereka yang mempunyai pendidikan lebih rendah, kendati biaya tidak langsung (oppourtunity cost) dan biaya langsung dari pendidikan yang lebih tinggi diperhitungkan (Bellante & Jackson,dikutip dari PPT-LIPI,1995:11). menurut Simanjuntak (dikutip dari PPT-LIPI,1995) keuntungan yang di dapat dari investasi sumber daya manusia melalui peningkatan pendidikan dan ketrampilan sumber daya manusia tidak hanya di peroleh orang yang mendapatkan pendidikan tersebut (Private rate of return) tetapi juga dipetik oleh masyarakat luas (social rate of return)
Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan di yakini dapat mengurangi kemiskinan karena dengan pendidikan dapat meningkatan kesempatan kerja, mengurangi ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan serta produktivitas kelompok miskin. Menurut Psacharopoulos (dikutip dari PPT-LIPI,1995) peningkatan dalam bidang pendidikan dapat mengentaskan penduduk dari kemiskinan langsung maupun tidak langsung yaitu melalui perbaikan pendapatan, kesehatan, nutrisi dan pengurangan rata-rata jumlah anggota keluarga, yang semuanya sebagai buah keuntungan dari investasi di bidang pendidikan.sehingga cukup beralasan bila para teoritisi dan perencana serta pengambil kebijakan di beberapa Negara terutama asia dan pasifik lebih memusatkan pada pengembangan modal manusia yang dalam jangka panjang lebih menguntungkan pertumbuhan ekonomi daripada memusatkan pada pengembangan social dan kebutuhan dasar.
Beberapa gejala yang diperkirakan mendorong perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang pesat pada Negara di kawasan asia pasifik terutama Jepang dan Korea Selatan menurut teori sosial ekonomi yang mencoba menerangkan pertumbuhan ekonomi yang cepat di pinggiran pasifik (pasifik rim) antara lain menyatakan bahwa Pertama : terdapat keterkaitan yang erat antara perubahan demografis, peningkatan SDM dan pertumbuhan ekonomi. Kedua: Terdapat komitmen yang kuat di wilayah ini dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak sebelum tahun 1960an. Ketiga : komitmen itu diwujudkan dalam bentuk intervensi pemerintah berupa investasi pada sumber daya manusia terutama pendidikan.Keempat: investasi ini ternyata menimbulkan tingkat adaptasi yang tinggi terhadap teknologi import yang akhirnya meningkatkan produktifitas dengan pesat.
Walaupun tingkat pendidikan yang lebih tinggi bukan merupakan faktor mutlak namun juga dipengaruhi juga oleh faktor kualitas individu seperti kepribadian, Softskill,dan lain lain. namun karena tingkat pendidikan di jadikan ”alat penyaringan”(screening device) maka pemberi kerja cenderung mengutamakan mereka yang berpendidikan tinggi untuk mengisi lowongan kerja manakala mereka mau menerima upah yang sama dengan mereka yang berpenghasilan lebih rendah,sehingga peluang kerja kelompok yang pendidikan lebih tinggi lebih besar dibanding yang berpendidikan lebih rendah.
Menurut becker (dikutip dari PPT-LIPI,1995), pasar tenaga kerja tersegmentasi menurut tingkat pendidikan , sebagai akibatnya maka mereka yang terdidik lebih mudah dan lebih cepat terserap kedalam lapangan pekerjaan sehingga terdapat hubungan yang negative antara tingkat pengangguran dan tingkat pendidikan. Walapun teori ini masuk akal, tetapi kenyataannya dapat terjadi sebaliknya manakala jumlah kelompok terdidik bukan hal yang langka lagi.
Pada masyarakat yang tengah berkembang seperti di indonesia, pengangguran dan pendidikan mepunyai hubungan yang sangat erat karena dalam persepsi masyarakat Indonesia, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan, adalah teraihnya lapangan kerja yang diharapkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" yang lebih tinggi di banding sektor informal.sehingga masyarakat menilai bahwa pekerjaan yang lebih baik berhubungan positif dengan tingkat pendidikan yang lebih bai. Hal tersebut telah menimbulkan mental ”pencari kerja” bukannya ”pencipta kerja ” pada tenaga kerja terdidik kita.
Namun Kondisi sektor ketenagakerjaan di indonesia berbeda dari persepsi mayarakat yang ada selama ini , pada tabel di bawah ini menunjukkan kondisi pengangguran terutama pengangguran terbuka menurut pendidikan dan jenis kelamin di indonesia pada tahun 2006
PENGANGGUR TERBUKA MENURUT PENDIDIKAN
DAN JENIS KELAMIN TAHUN 2006
DAN JENIS KELAMIN TAHUN 2006
Pendidikan | Laki-laki | Perempuan | Jumlah |
> SD | 1.693.677 | 1.831.207 | 3.524.884 |
SMPN | 1.549.673 | 1.310.334 | 2.860.007 |
SMAN | 2.241.638 | 1.805.378 | 4.047.016 |
Akademi/Diploma | 133.671 | 163.514 | 297.185 |
Universitas | 189.572 | 186.029 | 375.601 |
Jumlah | 5.808.231 | 5.296.462 | 11.104.693 |
Sumber: BPS/Sakernas 2006
LOWONGAN KERJA TERDAFTAR MENURUT
PENDIDIKAN DAN JENIS KELAMIN TAHUN 2005
PENDIDIKAN DAN JENIS KELAMIN TAHUN 2005
No | Pendidikan | Laki-laki | Perempuan | Jumlah |
1 | SD | 43,783 | 24,339 | 68,122 |
2 | SMTP | 10,770 | 17,012 | 27,782 |
3 | SMTA | 29,087 | 50,194 | 79,281 |
4 | DIPLOMA I/II | 1,240 | 2,310 | 3,550 |
5 | AKADEMI | 2,350 | 2,938 | 5,288 |
6 | UNIVERSITAS | 5,198 | 5,110 | 10,308 |
Jumlah | 92,428 | 101,903 | 194,331 |
Sumber:Depnakertrans/Laporan Informasi pasar Kerja 2005
Pengangguran kelompok terdidik menjadi lebih kentara terutama apabila kelompok yang terdidik itu terdiri dari kelompok usia muda dan baru keluar dari lembaga pendidikan serta mencari pekerjaan untuk pertama kali,penggangguran ini pada dasarnya bersifat laten artinya selalu ada di masyarakat dan biasanya tingkat penganggurannya relative terselubung namun ketika jumlahnya semakin meningkat dan full employment menurun proporsinya ,maka tingkat pengangguran terdidik tersebut menjadi semakin nyata. Pada saat seperti inilah terjadi ketidak seimbangan pasar tenaga kerja karena Penawaran tenaga kerja lebih besar dibanding lowongan kerja yang tersedia,sehingga untuk mengatasi hal tersebut maka tingkat lowongan kerja kerja yang tersedia harus di tambah untuk menampung jumlah angkatan kerja yang terus meningkat.
Di negara berkembang seperti di Indonesia dimana tingkat ekpektasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan sebagai sarana meningkatkan harkat, derajat, dan martabat manusia telah menyebabkan begitu besar minat masyarakat untuk mencapai tingkat pendidikan yang tertinggi. Begitu besarnya animo masyarakat terhadap pendidikan tinggi diimbangi oleh semakin luasnya akses masyarakat menuju pendidikan yang lebih tinggi. Fenomena dari tahun ketahun telah terjadi peningkatan yang luar biasa pada jumlah lulusan perguruan tinggi, hal tesebut seharusnya mengindikasikan telah terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat karena semakin banyak masyarakat yang mampu mengenyam pendidikan tinggi
Namun tanpa mengesampingkan masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan tinggi di Indonesia , peningkatan jumlah sarjana tidak di imbangi pada peningkatan dan perluasan lapangan kerja sehingga sekarang lebih banyak sarjana yang menganggur dari pada yang berkerja sehingga pada akhirnya telah terjadi perbedaan yang terlalu besar pada permintaan dan penawaran tenaga kerja. Mengerem laju kelulusan sarjana bukanlah solusi yang ideal karena akan berbenturan dengan kepentingan dan pasti akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Solusi yang terbaik adalah peningkatan dan perluasan tenaga kerja dengan melibatkan sarjana sebagai “job maker” dan bukan “job seeker”. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah merubah mindset para sarjana agar menjadi wirausaha baru dan berusaha menciptakan lapangan kerja baru dengan bekal kemampuan yang telah ia dapatkan di perguruan tinggi dan bukan malah menambah pengangguran yang telah ada.
0 comments:
Post a Comment