Aug 27, 2010

PERJALANAN KE DALAM DIRI


SANG PEMBERI MAKNA
Kehidupan orang-orang sukses telah menunjukkan kepada kita bahwa kualitas hidup kita tidak ditentukan oleh apa yang terjadi pada (menimpa) diri kita, tetapi lebih ditentukan oleh makna yang kita berikan dan tindakan yang kemudian kita ambil sesuai dengan makna hasil interpretasi (tafsiran) tersebut," demikian tutur Anthony Robbins dalam Unlimited Power dan Awaken the Giant Within.
Kesimpulan yang dirumuskan oleh Robbins bukanlah suatu hal yang sama sekali baru. Penganut positive thinking dan promoter positive mental attitude seperti Napoleon Hill dan Norman Vincent Peale telah menuturkan hal senada, bahkan sebelum Robbins lahir. Dalam perspektif serba positif itu, Hill dan Peale menekankan pentingnya memberikan makna positif terhadap segala peristiwa dan pengalaman hidup yang kita jalani. Jika kita selalu bersikap positif (baca: memberikan makna positif), maka kehidupan ini menjadi nikmat untuk dijalani sekalipun banyak peristiwa memilukan menimpa diri kita.
Stephen Covey lewat The Seven Habits of Highly Effective People, mengoreksi aliran sikap mental positif. Menurut Covey, sikap kita terhadap sesuatu hal bersumber pada peta mental atau kerangka acuan yang disebutnya paradigma. Karenanya, bila kita ingin mengalami perubahan secara signifikan, yang lebih penting bukanlah mengubah sikap dan perilaku tetapi memperbaharui, meng-up date, melengkapi atau menggeser paradigma.
Paradigma kita, benar atau salah, adalah sumber dari sikap dan perilaku kita, yang pada gilirannya menentukan hubungan kita dengan diri kita, sesama kita, dan lingkungan sekitar kita. Untuk menjelaskan gagasannya, Covey menuturkan cerita berikut: "Andai saja Anda ingin tiba di suatu tempat tertentu di tengah kota Chicago, sebuah peta jalan-jalan di kota tersebut akan sangat membantu Anda untuk tiba di tujuan. Namun, bila ternyata terjadi kesalahan cetak sehingga peta Chicago yang Anda pegang sebenarnya adalah peta Detroit, maka dapatkah Anda bayangkan ketidakefektifan dan frustrasi yang akan Anda alami dalam usaha mencapai tujuan Anda? Anda mungkin akan menata perilaku Anda, berusaha lebih keras, lebih teliti, lebih giat, dan melangkah' lebih cepat. Tapi usaha Anda itu hanya akan membawa Anda ke tempat yang salah secara lebih cepat. Anda mungkin akan menata sikap Anda, mencoba berpikir lebih positif. Anda tetap tidak akan sampai ke tujuan Anda. Jika Anda bersikap sangat positif, maka Anda dapat menikmati perjalanan Anda, tidak peduli di mana pun Anda berada. Masalahnya bukan perilaku atau sikap yang salah, melainkan Anda memiliki peta yang salah. Dan hasilnya adalah Anda tersesat.
Baik Robbins, Hill, Peale, maupun Covey pada dasarnya mengingatkan dan menyadarkan kembali hakikat manusia sebagai si pemberi makna kehidupan. Mudji Sutrisno, rohaniwan sekaligus budayawan, menyebutkan istilah "homo significant" sebagai suatu fenomena kultural dalam budaya membaca.
Ketika sebuah naskah berada di depan pembaca dan belum dibaca, ia terlihat rapih, masih terlipat, masih "mati". Namun, begitu dibaca dan ditelaah dengan garis-garis "stabilo" atau pensil berwarna, tengoklah secara visual naskah tersebut sekarang ia tampak "berwarna-warni" meriah. la tampil hidup! Dibangunkan dari "tidurnya sebagai huruf-huruf mati", lalu dibangkitkan dan diberi napas hidup yang baru. Kalimat yang tadinya merupakan cetakan huruf mati, kini dalam "pembacaan" sang pembaca lalu diberi "roh baru", diberi "makna baru", dihidupkan. Di sinilah, dalam proses membaca, si pembaca tampil sebagai sang pemberi makna, pemberi "arti" bagi naskah itu. la berlaku sebagai "homo significant"—sang pemberi makna.
Sejarah hidup kita sebagai pribadi tak ubahnya seperti naskah bacaan. la adalah "masa lalu", sesuatu yang telah "mati". Namun, kita dapat "menghidupkannya kembali" dengan memberikan "makna baru" , "arti baru".
Usaha memberi (atau mungkin lebih tepat dikatakan mencari) "makna baru" atau "arti baru" itu memerlukan, apa yang disebut jlomo Mudji, sebuah sanctuary, yakni: ruang cakrawala bening, suasana damai, kerasan tanpa diburu.cemas dan takut, horizon hening di lubuk sanubari, di mana para peziarah (manusia) ini mampu beristirahat, mengolah pertanyaan-pertanyaan dahsyat dan kegetiran hidup dalam atmosfer aman tenteram di dalam nurani kita masing-masing. Ziarah dari satu sanctuary ke sanctuary yang lain, ketika kita mengolah perjalanan hidup, merenungkan kegetiran hidup, mengadu, bahkan memprotes pada Dia yang kita percaya sebagai Sang Pencipta, mencegah kita dari kemandegan, kegamangan yang ajeg, dan kegagapan menghadapi arus deras perubahan sosial kultural yang sedang, dan masih akan terus, melanda kehidupan mi.
Dalam sanctuary, kita menata ulang paradigma, sikap, dan perilaku kita agar tidak beku pada tradisinya, tidak menjadi usang dan tak mampu lagi menjawab tantangan perubahan zaman baru. Sebagai praktisi di bidang pelatihan dan pengembangan sumber daya insani negeri tercinta ini, saya sungguh berharap bahwa apa yang saya lakukan dapat sedikit membantu orang-orang bisnis melakukan ziarah mereka dari satu sanctuary ke sanctuary yang lain. Dan dengan demikian membantu proses pemberian "makna baru", "arti baru" bagi setiap langkah bersejarah yang diambil sang pemberi makna ciptaan Yang Ilahi itu. Sudah barang tentu saya pun hams melakukan ziarah saya sendiri.
Ayyu Qaumin Antum
' Jika negeri-negeri Persia dan Rum sudah kamu taklukkan, manusia macam apakah kamu waktu itu? Para Sahabat menjawab: Kami akan mengatakan apa yang diperintahkan Allah. Lalu Nabi menimpali, atau barangkali yang lainnya. Kalian akan bersaing antara satu dengan yang lain, saling dengki, benci membenci, kemudian kamu bertindak sewenang wenang kepada golongan miskin dan lemah yang kehilangan rumah, lalu kamu tempatkan golongan yang satu di atas golongan yang lain," demikian salah satu hadits Nabi Muhammad yang diucapkan pada umat Islam di Madinah sekitar 15 abad lalu.
Ketika mengutip hadits tersebut dalam kotbah Idul Fitri dan Kualitas Hidup dalam Menyongsong Kebangkitan Nasional Kedua, Dr. M. Yunan Yusuf mengingatkan bahwa, "Bila dibandingkan dengan Imperium Romawi dan Persia yang menjadi dua adikuasa ketika itu, kaum muslimin adalah bangsa kecil yang belum berkembang, underdeveloped country." "Ayyu qaumin antum", manusia macam apa kah kamu nanti? Sebuah pertanyaan kritis yang menantang setiap insan untuk selalu mawas diri. Pertanyaan cerdas yang mempersoalkan esensi dari semua keberhasilan (achievements), maupun pencapaian-pencapaian tujuan-tujuan tertentu (accomplishments). Sebuah pertanyaan yang membuat bulu kuduk saya berdiri dan menghantui pemikiran saya berbulan-bulan lamanya.
Membuat bulu kuduk berdiri? Menghantui pemikiran? Ya. Bagaimana tidak, sejak memutuskan untuk mengembangkan karier sebagai konsultan dan instruktur di bidang pengembangan sumber daya manusia, obsesi utama saya adalah membantu setiap peserta di kelas untuk mengembangkan potensinya. Asumsi dasarnya ialah melalui pengembangan dan pelipatgandaan potensipotensi yang selama ini tersembunyi dalam diri mereka, diharapkan mereka mampu meningkatkan kualitas hidup sebagai manusia yang utuh. Peningkatan kualitas hidup tersebut harus tercermin dalam peningkatan karier profesi, kesejahteraan dan ketenteraman hidup. Apalagi, buku teks yang selalu dibagikan pada peserta jelasjelas "menjanjikan" hal-hal tersebut. Judul bukubuku seperti Petunjuk Menikmati Hidup dan Pekerjaan Anda, Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia, Cara Memperoleh Kawan dan Mempengaruhi Orang serta Petunjuk Berbicara Efektif dengan Cepat dan Mudah, dan Iain-lain, menimbulkan harapan-harapan tertentu bagi peserta pelatihan.
Pertanyaan yang mengusik permenungan saya adalah: apabila banyak hal yang diinginkan orang dalam kehidupan ini telah berhasil dicapainya, berdasarkan keterampilan-keterampilan yang diperoleh lewat pelatihan, maka manusia macam apakah mereka waktu itu?
Para alumni pelatihan umumnya memiliki kelebihan dalam hal kepercayaan diri, kemampuan berkomunikasi, dan human relations serta people skill lainnya. Ditambah dengan sikap-sikap positif dan knowledge yang mereka miliki, maka kemungkinan untuk mengembangkan karier, menambah penghasilan, dan meningkatkan taraf hidup mereka menjadi sesuatu yang secara relatif "lebih mudah". Hal mana terbukti dengan,banyaknya kesaksian alumni yang berhasil mencapai cita-cita mereka dikelak kemudian hari (tidak sedikit di antaranya yang berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan pada saat pelatihan masih berlangsung). Simak saja kesaksian-kesaksian peserta yang ditulis oleh almarhum Dale Carnegie dalam buku-bukunya yang selalu best seller. Puluhan atau mungkin ratusan kesaksian yang dikutip itu dilengkapi dengan data-data pemberi kesaksian, sehingga terbuka untuk dikonfirmasikan kepada yang bersangkutan. Belum terhitung dan ini jumlahnya mungkin jutaan, kesaksian-kesaksian dari mulut ke mulut yang tak pernah dibukukan.
Masalahnya, harus diakui bahwa keterampilan keterampilan yang diajarkan melalui pelatihan ini bisa saja disalahgunakan oleh mereka yang melalaikan nilai-nilai moral, keadilan, kebenaran, kesucian, ketaatan, dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keterampilan tersebut ibarat senjata-senjata ampuh yang dapat dipergunakan sesuai dengan keinginan manusia yang memakainya. Keterampilan human relations, misalnya, bisa dimanfaatkan untuk memanipulasi orang lain, mengeksploitasi buruh, mendiskreditkan orangorang tertentu, dan seterusnya.
Syukur Alhamdullilah dan Halleluyah, bahwa latihan keterampilan-keterampilan itu selalu disertai dengan sosialiasi nilai-nilai universal yang baik, mulia, dan luhur. Kejujuran, ketulusan, keajegan dalam bersikap positif terhadap diri, orang lain dan pekerjaan selalu ditekankan ulang pada setiap sesi pelatihan. Dengan demikian dapat diharapkan sosialisasi nilai-nilai luhur dan mulia itu dapat mereduksi ekses-ekses (akibat negatif) yang tidak kita harapkan Perenungan saya akhirnya bermuara pada harapan. Harapan bahwa rekan-rekan instruktur tak menjadi bosan menekankan pentingnya sikapsikap positif yang didasari oleh nilai-nilai luhur, agung dan mulia, yang seyogianya menyertai peningkatan keterampilan dan penambahan pengetahuan di kelas-kelas pelatihan. Sebab tanpa nilai-nilai luhur mulia yang melandasinya maka ayyu qaurnin anturn (manusia macam apakah kamu nanti)?
Sumber : Andrias Harefa, Sukses Tanpa Gelar
Andrias Harefa adalah Instruktur Dale Carnegie Training dan penerima 5 penghargaan sebagai HRD Consultant yang paling produktif (sales performance) dan pendiri Darma Mahardika sebuah organisasi yang memberikan jasa konsultansi dan pelatihan di bidang Etos Kerja Profesional, Kepemimpinan Etis, Inovasi dan Kewirausahaan, dan Kualitas Keunggulan

0 comments:

Post a Comment