Aug 15, 2010

Pendidikan Sejarah yang Progender

Beberapa waktu lalu, sebuah manuskrip kuno ditemukan di Bali, yang bisa menjadi sumber sejarah pembanding terhadap kebenaran sejarah lama mengenai Kerajaan Majapahit.

Dalam manuskrip itu dikisahkan, sebenarnya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa bukan di era kekuasaan Raja Hayam Wuruk, melainkan dalam periode kekuasaan Ratu Tribuwana Tungga Dewi.

Penemuan manuskrip kuno yang ’’membongkar’’ fakta periode deklarasi Sumpah Palapa tersebut hingga kini masih menjadi polemik di kalangan ahli sejarah. Ada resolusi untuk meluruskan fakta sejarah itu, dengan menggali sumber-sumber sejarah yang lain, sehingga bisa lebih memastikan fakta kebenaran tentang periode sumpah yang diucapkan Gajah Mada.

Bagi pemerhati/penikmat babad (wacana) sejarah, apabila benar Sumpah Palapa diucapkan di era Tribuwana Tungga Dewi, maka dapat diungkap pemaknaan sosiologis sejarah, bahwa penulisan sejarah di masa lalu sangat didominasi oleh tradisi literasi yang bias gender.

Penulisan sejarah dan politisasi monumentasi sejarah dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang patriarkhis, dengan mengabaikan sebuah kekuatan eksistensialis kaum perempuan. Sejarah adalah milik kaum laki-laki, terutama penguasa laki-laki.

Para empu atau pengabadi data sejarah masa lalu umumnya memang laki-laki yang memiliki ideologi pemikiran antigender, sehingga sering ada upaya penghilangan peran kesejarahan kaum perempuan, sekalipun perempuan itu seorang raja. Tribuwana Tungga Dewi adalah raja perempuan dari Kerajaan Majapahit, sebelum Hayam Wuruk berkuasa.

Lintasan data (fakta tertulis) Majapahit juga didominasi lelaki. Mereka adalah para mpu (cendekiawan) dan pandhita yang berada di lingkaran status quo, dan kebanyakan menganut ideologi antikesetaraan perempuan.

Bukan hanya di zaman Majapahit penulisan sejarah sangat bias gender. Pada era Mataram Islam pun, para punggawa literasi adalah laki-laki yang sering memaknai hak dan posisi perempuan sebagai ’’kelas dua’’ dalam relasi sosial-kenegaraan.
Tradisi penulisan sejarah yang bias gender juga makin terkonstruksi oleh ideologi pendidikan di era Orde Baru, yang kekuasaannya

bercorak militeristik-feodalistik. Banyak bahan sejarah atau modul pembelajaran sejarah yang berkarakter antiperan dan antiposisi perempuan. Peran dan posisi perempuan, yang seharusnya diwacanakan lebih objektif, justru dimarjinalkan.
Ratu Shima Ada beberapa tafsir dari materi sejarah dan modul pembelajaran sejarah yang memarjinalisasi perempuan. Dalam periode sejarah Hindhu-Buddha, misalnya pernah muncul seorang ratu (raja perempuan) yang bijaksana, antikorupsi, adil, serta berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Dialah Ratu Shima. Namun epos atau wacana tentang Ratu Shima terabaikan, karena para historigraf sejarah tidak pernah serius menggali sumber-sumber sejarah tentang eksistensinya. Bahkan kini, dalam berbagai modul/bahan ajar sejarah, Ratu Shima seolah raib dalam pewacanaan.

Tradisi kegagahan para pejuang gerilya seperti Tjoet Nyak Dien dan Christina Martha Tiahahu, yang memimpin perlawanan terhadap kolonial, juga tidak sekuat karakter pewacanaan terhadap tokoh-tokoh perlawanan nasional yang ditakdirkan berkelamin lelaki.

Kalau ada semangat kesetaraan gender dalam pendidikan sejarah, fondasi kurikulum nasional pendidikan sejarah harus menjadikan ’’matra pahlawan perempuan’’ dalam bahasan khusus, sehingga mudah dipahami oleh pendidik (guru) dan peserta didik (siswa-siswi).

Banyak pula kisah pejuang perempuan dan tokoh pergerakan perempuan yang dimarjinalinalkan dalam literasi sejarah. Contohnya SK Trimurti. Meski ia seorang tokoh pergerakan nasional, namanya juga dieliminasi dari catatan resmi sejarah, karena ideologi progresif yang dianutnya.
Semangat Progender Saat ini diperlukan semangat progender dalam pendidikan sejarah. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan. Pertama, kurikulum pendidikan sejarah perlu direvisi dengan tambahan matra wacana sejarah perempuan.

Penambahan itu mencakup aspek kepahlawanan perempuan, penjabaran posisi dan peran perempuan dalam dinamika politik kekuasaan masa lalu, hingga apresiasi tekstual tentang kepemimpinan perempuan dalam sejarah nasional.

Kedua, diperlukan reformulasi perumusan bahan ajar pendidikan sejarah, dengan mengedapankan aspek keseimbangan informasi (sumber sejarah) alternatif, dalam rangka memperkuat fakta tentang peran perempuan dalam periodeisasi sejarah.

Jika perlu, fakta tentang perempuan dalam pemahaman sebagai ’’objek’’ pergolakan sejarah nasional dapat dijadikan bahasan khusus untuk membangkitkan kesadaran kritis siswa.

Sejarah jugun ianfu di masa pendudukan Jepang, meski pahit bagi perempuan, juga perlu dimasukkan dalam bahasan tentang fasisme dan penindasan perempuan.

Misinya jelas, yaitu hak asasi perempuan yang pernah mengalami ketidakadilan bisa dipandang sebagai kebutuhan asasi masyarakat (perempuan).

0 comments:

Post a Comment