SEMARANG, MINGGU - Masalah keselamatan kerja pekerja anak-anak, khusunya pekerja anak usia dini hingga 17 tahun, di sektor perkayuan dan pembuatan furnitur di sejumlah daerah Jawa Tengah, sudah mendesak untuk mendapatkan perhatian pemerintah.
Hasil penelitian pekerja anak di Kabupaten Jepara, misalnya dari 75 anak yang diteliti ternyata 81,6 persen adalah pekerja laki-laki dan 18,4 persen anak-anak perempuan. Dari jumlah itu, selama mereka bekerja tidak terlindungi dari bahaya kimia dari proses finishing perkayuan dan 20 persen di antara pekerja anak-anak pernah mengalami sakit lebih tinggi dibanding anak-anak yang tidak bekerja.
Hal itu disampaikan supervisor monitoring pekerja anak dari perwakilan International Labour Organization (ILO) Jakarta, Abdul Hakim, Minggu (27/4) setelah melakukan lokakarya soal penghapusan pekerja anak di Semarang. Penelitian pekerja anak di sektor perkayuan dan pembuatan furnitur di Jepara itu melibatkan konsultan Hanifa M Denny, Semarang.
Abdul Hakim menyatakan, upaya penghapusan pekerja anak yang bekerja di sektor industri yang mempunyai risiko kecelakaan kerja cukup tinggi, terus diupayakan seiring Keputusan Presiden RI nomor 12 Tahun 2002. Sejak Desember 1999, ILO-IPEC telah menarik sedikitnya 5.500 anak-anak dari pekerjaan di sektor alas kaki informal Cibaduyut, Bandung serta pekerja anak yang mencari ikan di sektor perikanan lepas pantai (jermal) Sumatera Utara.
Hasil kajian di Kabupaten Jepara, sejak 2006 tercatat jumlah pekerja anak di sektor informal tercatat sebanyak 2.029 pekerja anak. Pekerja anak ini banyak bekerja di sektor mebel, meliputi pertukangan, pengamplasan, kebanyakan bersifat industri rumahan merupakan sektor yang paling banyak menyerap pekerjaan anak.
"Mereka tidak mempunyai waktu untuk sekolah. Mereka banyak dari keluarga miskin kemudian meneruskan pekerjaan, warisan dari orangtuanya yang miskin. Hal ini menyebabkan pekerja anak-anak pun juga terjerat kemiskinan," kata Abdul Hakim.
Menurut Hanifa M Denny, faktor risiko bahaya yang dihadapi pekerja anak di Jepara pada sektor mebel ini meliputi debu kayu, kebisingan, penggunaan alat-alat tajam, terkontaminasi solven atau pelarut bahan kimia, politur, pewarna dan cat kayu. Bekerja tanpa perlindungan yang memadai, menyebabkan anak-anak rentan terkena gangguan kesehatan terkait debu kayu maupun cat kayu.
Gangguan itu meliputi gangguan kesehatan mata, iritasi, saluran pernafasan, iritasi mata, asma dan penurunan kapasitas vital paru. dari 20 persen jumlah pekerja sebanyak 75 anak yang diteliti pernah sakit, lebih tinggi dibanding anak usia 15-17 tahun. Sakit mereka akibat kecelakaan kerja. Sekitar 18,4 persen dari anak-anak pekerja, mengaku pernah tak masuk kerja karena sakit.
"Sakitnya meliputi terluka karena kena setrum peralatan tajam listrik, dan terpukul palu. Sebanyak 20 persen anak-anak di bawah 15 tahun mengaku kecelakaan kerja terkait pekerjaannya," ujar Hanifa.
Hanifa M Denny mengutarakan, jumlah usia produktif antara 15-64 tahun sebesar 66 persen dari jumlah penduduk di Jepara sebanyak 699.422 orang. Jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja mencapai 497.290. Data penyebaran pekerja anak meliputi wilayah kecamatan Tahunan, Welehan, Kedung dan Mlonggo. Hasil kajian di Jepara juga menunjukkan sejak 2001, potensi mebel mampu menyerap tenaga kerja baru 85.250 orang, hasil ekspor mebelnya mampu menghasilkan nilai ekjspor sebanyak Rp 2,4 miliar.
0 comments:
Post a Comment