Dari segi aset, industri perbankan nasional sebenarnya sangat dominan terhadap perekonomian Indonesia. Maklum, industri perbankan menguasai hampir 80 persen aset keuangan di Indonesia. Namun, sayangnya, dari segi peran dalam pembangunan, perbankan masih jauh dari harapan.
Buktinya, kontribusi pembiayaan dari perbankan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi belakangan ini tidak lebih dari 10 persen.
Pada tahun 2009, misalnya, dari dana Rp 1.700 triliun yang dipakai mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3 persen, kontribusi perbankan hanya Rp 130 triliun atau 7,6 persen.
Rendahnya peran bank dalam mendorong perekonomian, salah satunya, dipengaruhi oleh paradigma yang dianut sebagian besar bankir. Banyak bankir yang berpikir bahwa peran bank adalah mengekor pertumbuhan atau follow the trade. Artinya, bank baru akan bergerak pada industri atau daerah yang telah tumbuh. Paradigma ini mungkin cocok di negara yang telah maju dengan posisi bank yang tidak mendominasi sistem keuangan.
Namun, di Indonesia, bank seharusnya memiliki paradigma sebaliknya. Pasalnya, sangat banyak potensi ekonomi yang belum tergali di Indonesia. Banyak daerah di kawasan Indonesia bagian timur yang kaya sumber daya alam belum berkembang optimal. Bahkan, sektor pertanian dan perikanan, yang potensinya sangat besar, juga belum tergarap semestinya.
Idealnya memang pemerintah pusat dan pemerintah daerahlah yang harus banyak berperan menjadi pelopor pembangunan. Namun, pada saat pemerintah tidak memiliki dana yang cukup seperti saat ini, sektor swasta harusnya bisa mengambil peran lebih besar.
Nah, dengan sumber daya yang besar, jaringan yang luas, dan dominasi dalam pasar keuangan, sektor perbankanlah yang paling dituntut untuk menjadi pionir dalam mendorong pertumbuhan di Indonesia.
Selama ini perbankan nasional belum menjadi lokomotif yang menghela pertumbuhan ekonomi yang bersifat produktif. Dengan kata lain, bank belum menerapkan paradigma leading the development.
Akibat rendahnya daya analisis terhadap daerah dan pasar-pasar baru, perbankan nasional cenderung hanya mengikuti arus pertumbuhan atau follow the trade. Terbukti, sebagian besar kredit hanya disalurkan pada sektor konsumsi atau sektor-sektor lain yang telah tumbuh atau memiliki permintaan kredit tinggi. Ini berarti perbankan hanya menunggu dan enggan mengambil risiko, yang sebenarnya bisa dimitigasi lewat kemampuan analisis memadai.
Signifikan
Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad pernah mengatakan, paradigma lama perbankan yang follow the trade harus diubah. Perbankan harus mengambil peran yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan. Perbankan harus kreatif menciptakan model-model pembiayaan baru untuk sektor-sektor yang belum terjamah. Walaupun akan sulit pada awalnya, strategi ini dalam jangka panjang akan menguntungkan bank bersangkutan.
Perubahan paradigma inilah yang coba dilakukan Bank Mandiri dalam setahun ini dengan berinisiatif mendorong perkembangan daerah-daerah di kawasan timur Indonesia.
Setelah tahun lalu menggelar Papua Investment Day, kali ini Bank Mandiri menghelat Maluku Investment Day. Langkah ini merupakan rangsangan untuk menggerakkan sektor riil dan investasi di kawasan Maluku, di mana Mandiri akan berperan sebagai penyalur kredit bagi investor atau pengusaha yang ingin menanamkan modal di kawasan tersebut.
”Kini bukan saatnya lagi bank menunggu adanya bisnis, baru kemudian masuk ke satu wilayah. Perbankan kini harus bisa menjadi lokomotif yang menciptakan peluang,” kata Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo.
Dalam Maluku Investment Day (MID), Bank Mandiri mempertemukan korporasi-korporasi besar dengan pemangku kepentingan di Maluku dan Maluku Utara untuk penjajakan investasi di sana. Tujuannya untuk mengoptimalkan potensi ekonomi di Maluku dan Maluku Utara sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di wilayah itu.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara mengatakan, sebanyak 143 korporasi besar di Indonesia, baik swasta maupun negara, seperti Harita Group, Wijaya Karya, dan Adhi Karya, menghadiri Maluku Investment Day untuk bertukar pikiran dengan semua pemangku kepentingan sehingga dapat mengurai masalah pengembangan investasi di Maluku dan Maluku Utara.
Acara tersebut juga akan diisi dengan pertemuan bisnis antara calon investor dan pemerintah daerah yang difasilitasi oleh Bank Mandiri.
Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, Gubernur Maluku Utara Thaib Armaiyn, dan para bupati di kedua provinsi ikut dalam acara ini.
Agus Martowardojo mengatakan, realisasi investasi yang rendah di tengah tingginya potensi ekonomi di Maluku dan Maluku Utara salah satunya disebabkan keterbatasan infrastruktur, di mana kondisi jalan, permukiman, irigasi, listrik, dan transportasi belum memadai mendukung aktivitas bisnis.
”Di sini perlu kemitraan pemerintah dan swasta untuk memfasilitasi kegiatan perekonomian sehingga potensi Maluku dan Maluku Utara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan nasional. Bank Mandiri berkomitmen untuk membantu memfasilitasi pembiayaan pembangunan yang berkelanjutan di kawasan tersebut,” kata Agus Martowardojo.
Potensi ekonomi Maluku ataupun Maluku Utara sangat besar. Dalam sektor perikanan, di perairan Maluku Utara, misalnya, dari 1,03 juta ton potensi ikan, baru 134.354 ton yang bisa ditangkap atau kurang dari 13 persen. Demikian halnya dengan Maluku, di mana baru 40 persen kapasitas sektor perikanan yang bisa dimanfaatkan.
Agus berharap, melalui Maluku Investment Day, akan tercipta fondasi bagi pengembangan ekonomi di kawasan timur Indonesia, yang hingga kini memang belum tergali optimal.
Menurut Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, Maluku memang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, tetapi sebagian besar belum tersentuh dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, Pemerintah Provinsi Maluku akan melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi yang didukung pengembangan di sektor pertanian, infrastruktur, dan energi.
Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Maluku tercatat 5,34 persen dengan inflasi 6,48 persen. Dana yang dihimpun oleh perbankan tahun 2009 tercatat Rp 5,2 triliun dan penyaluran kredit Rp 3,15 triliun. ”Realisasi penanaman modal dalam negeri di Maluku sebesar Rp 3,02 triliun untuk 23 proyek tahun 2009, sementara penanaman modal asing tercatat 19 proyek dengan nilai 353,76 juta dollar AS,” kata Karel Albert Ralahalu.
Gubernur Maluku Utara Thaib Armaiyn mengemukakan, sinergi optimal antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, departemen terkait, masyarakat, investor, dan perbankan diharapkan mampu memberikan perubahan besar bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Maluku dan Maluku Utara. ”Kegiatan Maluku dan Maluku Utara Investment day ini sangat positif bagi kami sebab investor bisa lebih mengenal potensi-potensi yang kami miliki untuk dikembangkan,” tutur Thaib Armaiyn.
0 comments:
Post a Comment