Aug 15, 2010

Islam Masuk sejak Kalifah Utsman

KETIKA nusantara masih dikuasai Kerajaan Medang (Jawa Timur), selepas runtuhnya Sriwijaya, di Beijing China sudah mulai dibangun sebuah masjid. Kini, masjid di Jl Niujie 88 Xuanwu Distrit itu masih kokoh berdiri.

Masjid sangat terkenal, bukan hanya di China namun bagi seluruh kaum muslimin di dunia. Karena itu, jika berkunjung ke Ibu Kota China, maka tujuan utama umat Islam untuk shalat jumat atau shalat wajib lainnya, pasti ke sana.
Masjid Niujie atau Ox Street, sesuai nama jalan lokasiya, dibangun pada 996 awal kekuasaan Dinasti Liao (916-1125). Pembangunannya atas supervisi dari mahasiswa Arab, Nasuruddin, yang berada di Beijing. Arsitektur sesuai dengan bangunan di Timur Tengah.

Akan tetapi saat kekuasaan Dinasti Ming (1474), masjid ini dipugar dengan perubahan arsitektur menjadi bentuk seperti yang kita lihat saat ini. Bentuk luarnya khasnya China, mirip seperti bangunan Sam Poo Kong di Simongan Semarang.

Bangunan dalam juga tidak mencerminkan masjid, karena pahatan-pahatan kayunya khas budaya China. Yang menonjol adalah setiap bagian tiang atau tembok dihiasi kaligrafi, baik itu diambil dari ayat suci Alquran maupun hadits.
Luas masjid itu 6.000 meter persegi. Bangunan-bangunannya antara lain ruang sembahyang, menara azan, dan loteng yang berjajar di satu garis poros. Tata ruang ini merupakan perpaduan sempurna gaya arsitektur klasik Tiongkok dan masjid Arab.

Masjid Niujie merupakan kebanggaan kaum muslim yang tinggal turun temurun di sini. Profesor Ma Lixin dari Universitas Etnis Pusat yang sudah 30 tahun tinggal di sana mengatakan, ’’Masjid Niujie adalah salah satu khazanah benda budaya Islam di Tiongkok. Di dalam halaman masjid ini terdapat makam imam dari negara Arab yang mengajarkan agama Islam ratusan tahun lalu.

Goresan huruf Arab yang terukir di batu nisan makam itu. Selain itu, dalam masjid ini tersimpan papan nama masjid tulisan tangan Kaisar Kangxu dari Dinasti Qing pada tahun 1694, serta kitab Alquran tulisan tangan 300 tahun lebih yang lalu.’’

Di Niujie sekarang ini bermukim 12.000 penduduk muslim. Berhubung mereka suka warna hijau, maka di jalan Niujie di mana-mana tampak restoran bertuliskan “makanan halal” dalam warna hijau, pintu rumah penduduk juga dicat warna hijau. 

Di sana kita akan sering pula berjumpa dengan warga muslim lanjut usia yang mengenakan kupiah putih dan berjalan dengan santai. Semua itu menciptakan suasana muslim yang kental di daerah ini.

Pada 1949, ketika pemerintahan China jatuh ke tangan Partai Komunis di bawah pemimpin besar Mao Zedong, masjid tersebut tetap mendapat perhatian. Bahkan saat itu sudah ada rencana besar untuk merenovasi agar keberadaannya lestari. Kemudian, pada 13 Januari 1988, masjid itu ditetapkan sebagai warisan budaya nasional yang dilindungi oleh pemerintah.

Langkah nyata dari tindak lanjut keputusan itu adalah disediakannya dana sebesar 25 juta yuan (1 yuan = Rp 1.300). Maka pada 26 April 2005, dilakukan renovasi. ’’Ya, kami telah merenovasi masjid termasuk bangunan-bangunan di dalamnya seperti SD dan pusat penjualan suvenir Islam,’’ ungkap Yu Ping, vice-director of the Beijing Municipal Bureau of Cultural Heritage.

Total bangunan seluas 4.000 meter persegi itu kini juga dilengkapi dengan ruangan-ruangan yang khusus untuk laki-laki dan perempuan di luar bangunan utama masjid.

Kendati direnovasi, bentuk asli bangunan utama masjid tidak mengalami perubahan. Demikian pula dengan menara peneropong bulan masih dipertahankan orisinil.

Atas renovasi yang kini menghasil masjid lebih bagus, Lu Chaoliang (71) merasa sangat bahagia. Sebab pemerintah ternyata sangat memperhatikan sarana ibadah umat muslim.
Kalifah Utsman Sabda nabi ’’Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China’’ teryata tidak perlu lama menunggu untuk diterjemahkan. Sebab pada masa pemerintahan Kalifah Utsman bin Affan, sudah dikirim utusan Islam ke sana. Artinya, hal itu terjadi 20 tahun setelah Rasulallah meninggal atau tahun 650M  —saat Nusantara masih dikuasai Kerajaan Kalingga Jepara dengan pemimpin yang terkenal Ratu Shima.

Saat itu yang diutus adalah Saad ibn Abi Waqqas, saudara nabi. Kedatangan Islam di China diterima secara damai. Yung Wei, kaisar pada masa Dinasti Tang, akhirnya meminta kepada Saad untuk membangun masjid di Kanton, yang akhirnya menjadi masjid tertua di China.

Pada masa Dinasti Tang (618-907), Islam mengalami kejayaan sehingga penyebarannyaa lebih meluas. Beberapa posisi penting di kekaisaran pun dijabat orang Islam, salah satunya The office of Director General of Shipping. Karena itu, dalam hal ekspor-impor, kaum muslim mendominasi.

Pada 1070 (saat Dinasti Liao 916-1125), Kaisar Shenzong mengundang 5.300 muslim dari Bukhara untuk menetap di China, sebagai ikatan antara China dan kaisar Liao di barat laut. Akhirnya mereka menetap di kawasan antara ibu kota Sung (Kaifeng) dan Yenching (kini Beijing).

Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid dalam bahasa China So Fei Er, yang memiliki reputasi tinggi hingga akhirnya dikenal sebagai bapak komunitas Islam di China.

Pada saat kekuasaan Dinasti Yuan di Mongol (1274-1368), dalam jumlah besar umat muslim tinggal di China. Mongol memberi para imigran muslim itu status sebagai penduduk tetap sebagaimana suku Han.

Hal ini makin membuat pengaruh Islam makin kuat. Peran besar oleh Mongol diberikan kepada para imigran dari Persia, Arab, dan Uyghur dalam pemerintahan. Selama Dinati Ming, muslim masih mewarnai pemerintahan.
Kaisar Zhu Yuanzhang memimpin pasukan pada perang melawan Mongolia di Tembok Besar. Mereka mengalami kemenangan besar, sehingga impian besar Mongol untuk kembali mengalahkan China sirna.

Pada 1405-1433, terjadi gelombang besar imigran masuk ke China. Pada era itu, pengaruh Islam sangat kuat sehingga terjadi proses asimilasi, mulai dari perkawinan, bahasa maupun arsitektur.

Namun naiknya Dinasti Qing (1644-1911) membuat hubungan antara muslim dan China lebih sulit. Kaisar melarang perayaan agama, diikuti dengan larangan merehab atau membangun masjid baru.

Ibadah haji ke Mekah juga dilarang. Aturan ini menjadikan perkembangan Islam terhambat bahkan terhenti. Bahkan politik mengadu domba antara muslim, Hans, Tibet, dan Mongolia dikembangkan oleh Kaisar.

Setelah kejatuhan Dinasti Qing, Sun Yat Sen, pendiri Republik China (nasionalis) merangkul kembali suku Han, Hui (muslim), Meng (Mongol), dan Tsang (Tibet). Setelah itu, Islam diberi kebebasan. Bahkan saat Sun Yat Sen jatuh oleh Mao Zedong yang berhaluan komunis, Islam tetap dibiarkan berkembang. Kini mulai muncul dan berdiri bangunan-bangunan masjid.

Sejak 1978, umat Islam China sudah kembali diperbolehkan ibadah haji ke China. Data pada 2006, tercatat 9.600 orang menunaikan ibadah haji ke Mekah.

0 comments:

Post a Comment